"Jika dilihat sekilas, kotak itu tak bermakna."
VIVAnews -- Suasana
siang itu sepi menyayat. Hanya ada segelintir orang, tak banyak
kendaraan yang lalu lalang. Sebelum mencapai pendopo, sebuah patung
tembaga menjulang setinggi empat meter . Menggambarkan sosok seorang
pejuang yang selamat, namun cacat. Hanya memiliki satu kaki dan satu
tangan. Disangga tongkat, ia berdiri menatap langit, dengan dahi
berkerut.
Di sebelahnya, ada bangunan kotak,
strukturnya seperti rumah panggung, hanya lebih pendek. Ukurannya 6x6x12
meter. Sejumlah patung pejuang pria dengan ukuran kecil seakan sedang
‘memanggulnya’. Bagian tengahnya dipenuhi relief yang menggambarkan
kejadian mengerikan: mayat-mayat yang bergelimpangan dan penduduk desa
yang berduka. Menggambarkan situasi pembantaian 40.000 jiwa rakyat
Sulsel.
“Jika
dilihat sekilas, kotak itu tak bermakna, tapi jika diperhatikan
seksama, monumen dibangun menyerupai peti mati,” kata penjaga monumen,
Zaenal Ropu kepada VIVAnews.com. Tepat di bawah "Monumen
Korban Pembantaian 40.000 Jiwa" terdapat kuburan massal ratusan jiwa
orang Sulawesi Selatan yang dibantai pasukan Belanda yang dipimpin
Raymond Pierre Paul Westerling.
Zaenal menceritakan, awalnya lokasi monumen
yang terletak di Kelurahan La'latang, Kecamatan Tallo itu adalah
hamparan sawah dan rawa. Saat pasukan Westerling meraja lela, tempat itu
dijadikan pembuangan korban pembantaian. Lubang yang menganga dipenuhi
ratusan jasad.
"Menurut informasi turun temurun, di sinilah lubang besar itu dan dijadikan kuburan massal," kata Zaenal, menunjuk sebuah titik.
Lubang itu kini tak lagi terlihat, ditimbun
dan di permanenkan dengan adonan semen selebar 2 meter dan panjang 6
meter. "Kira-kira sekitar tahun 1970, lubang itu ditutup total,"
tuturnya. Lalu, pada tahun 1994 di atasnya dibangunlah monumen -- atas
inisiatif Walikota Makassar saat itu, HM Endong Patompo.
Saat ditanya soal sejarah pembantaian
Westerling, Zaenal mengaku tak tahu pasti. Ia mengaku hanya mendapat
beberapa penggal cerita dari ayahnya, yang juga pernah menjaga monumen
tersebut.
Pria 60 tahun itu menambahkan, oleh ayahnya
ia diberitahu lokasi kuburan massal dan diberi tahu, bahwa jasad-jasad
yang terbaring di sana adalah rakyat dari berbagai lokasi di Sulawesi
Selatan. "Jika dianggap jagoan, maka dari daerah manapun, pasti mayatnya
diseret dan dibuang disini. Kemudian warga lainnya, katanya dijemur
dulu lalu ditembak dan dibuang ke lubang ini," kata dia.
Monumen pembantaian ini dijadikan salah satu obyek wisata sejarah dan budaya andalan Sulsel. Tapi kata Zaenal, tak banyak yang datang. Tempat ini baru ramai jelang peristiwa pembantaian Westerling, setiap tanggal 11 Desember. Selebihnyan bangunan itu hanya sesekali didatangi, itupun untuk kepentingan penelitian maupun untuk peliputan."Untuk keluarga korban, sangat jarang ada yang datang," tutupnya.
Monumen pembantaian ini dijadikan salah satu obyek wisata sejarah dan budaya andalan Sulsel. Tapi kata Zaenal, tak banyak yang datang. Tempat ini baru ramai jelang peristiwa pembantaian Westerling, setiap tanggal 11 Desember. Selebihnyan bangunan itu hanya sesekali didatangi, itupun untuk kepentingan penelitian maupun untuk peliputan."Untuk keluarga korban, sangat jarang ada yang datang," tutupnya.
Padahal hanya setahun -- 1946 sampai 1947
-- tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan
sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas
dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan
Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis',
'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke
kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Vonis Pengadilan Den Haag yang memenangkan
korban pembantaian Rawagede, menyatakan Pemerintah Belanda bersalah
secara hukum – menjadi pintu masuk untuk menggugat pembantaian sadis di
Sulsel. Bukan untuk menguak luka lama, tak hanya bertujuan menuntut
kompensasi, tapi demi keadilan bagi korban. (Laporan: Rahmat Zeena|
Makassar)
sumber : http://nasional.vivanews.com/news/read/247888-kuburan-massal-di-bawah-monumen-westerling
Tidak ada komentar:
Posting Komentar